Review Mata Najwa Gelanggang Tinju Jokowi


MCA, Penegakan Hukum atau Alat Politik?
Mendekati pencalonan Presiden beberapa bulan lagi, suhu politik semakin memanas. Tak hanya soal utak atik siapa yang melawan siapa, tapi juga siapa yang mendampingi siapa, perang urat syaraf pun sudah mulai dipertontonkan. Media sosial tak lepas, jadi arena pertempuran. Semua jadi bahan dan senjata untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Maka apa jadinya pemilu jika dipenuhi hasut dan dengki ?
Tudingan pertemuan politik di istana hingga tuduhan alat negara digunakan untuk mengamankan kepentingan politik pilpres. Pro kontra pencapaian kinerja pemerintah, sampai penangkapan pelaku penyebar hoax yang belakangan dituding menyerang pemerintah. Penyebaran hoax sangat cepat hingga menimbulkan isu-isu yang masih belum ada kejelasannya.
Di meja Mata Najwa, para narasumber saling bertarung pendapat soal pengungkapan Muslim Cyber Army. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko tegas menjelaskan penangkapan anggota-anggota Muslim Cyber Army merupakan ketegasan penegakan hukum atas mereka yang berusaha memecah belah bangsa melalui provokasi hoax berbau SARA dan politik. Muslim Cyber Army dituding menyebarkan berita hoax untuk kepentingan partai politik.
Ini diamini oleh Sekjen Partai Nasdem Johnny G. Plate serta Ketua DPP PDI Perjuangan Komarudin. Namun lain halnya dengan partai oposisi. Ketua DPP Gerindra Ahmad Riza Patria, “ Aparat telah menangkap Muslim Cyber Army tapi sejauh mana integritas aparat?” Pernyataan ini langsung memantik perdebatan dalam Mata Najwa episode Gelanggang Tinju Jokowi.

Kontroversi Kunjungan Parpol ke Istana
Menurut Ketua DPP Gerindra “Jangan gunakan fasilitas negara untuk kepentingan salah satu kampanye politik”. Namun pernyataan tersebut langsung mendapat sindiran “Ini karena semua pada baper (bawa perasaan)!” demikian sindir Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko soal kritik pertemuan Presiden Jokowi dengan partai-partai baru di kompleks Istana Kepresidenan. Partai pendukung pemerintah, Nasdem dan PDI Perjuangan pun menilai pertemuan Presiden dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang kemudian diikuti pertemuan dengan Perindo, sebagai hal biasa saja. Tak perlu diributkan.
Ramai dibandingkan dengan pertemuan Presiden Jokowi bersama Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, Riza Patria pun angkat bicara. Ketua DPP Partai Gerindra ini menyatakan pertemuan Presiden Jokowi dengan Prabowo hal berbeda dan tak dapat dibandingkan dengan pertemuan Presiden Jokowi dengan PSI.
Partai oposisi mempersoalkan pertemuan Presiden Jokowi dengan pengurus PSI, karena disebut-sebut membicarakan strategi pemenangan Pilpres 2019. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, “ Ini jelas offside!” Pernyataan ini disambut Ketua DPP PDI Perjuangan Komarudin Watubun, “ Offside menurut partai oposisi. Jadi kalau Pak Mardani mau ke istana tak apa-apa, jangan malu-malu.”

Rapor Kinerja Pemerintahan Jokowi
Mata Najwa membuka pembahasan soal rapor kinerja pemerintahan Jokowi. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang memegang data-data kerja pemerintah menegaskan pencapaian pemerintah dalam 3 tahun. PDI Perjuangan dan Partai Nasdem juga diberi kesempatan terlebih dulu untuk memaparkan rapor pemerintahan Jokowi. Sesudah itu ada PKS dan Gerindra langsung meng-counter. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera, “Pemerintah sedang membangun istana pasir.”
Perdebatan soal apa yang sudah berhasil dan tidak berhasil dilakukan pemerintahan Jokowi lalu memanas di Mata Najwa. Penegakan pemberantasan korupsi, terkatung-katungnya kasus Novel, impor beras, pertumbuhan ekonomi, hingga dukungan bagi perdamaian Afghanistan yang dilakukan melalui lawatan Presiden ke Afghanistan.

Mengukur Kepuasan atas Kinerja Jokowi
“Dari kacamata survei yang tertangkap publik, seberapa puas publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK?” pertanyaan tersebut dilontarkan Nana kepada M.Qodari. Menurut M. Qodari Tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi di tiga tahun pemerintahannya berada di kisaran 60 persen. Ini hasil survei yang paling akhir dirilis empat lembaga survey. Lalu apa maknanya?
Direktur Eksekutif M. Qodari menyatakan kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi seharusnya bisa lebih tinggi. Ia membandingkan dengan survei kepuasan publik pemerintahan SBY jelang pilpres dahulu yang bisa mencapai kisaran 80 persen.
Penuturan ini menjadi pemantik debat di antara mereka yang mendukung Jokowi dan mereka yang ingin mengusung calon presiden baru dalam Pilpres 2019.  Ketua DPP PDI Perjuangan Komarudin Watubun dalam salah satu perdebatan menyatakan serangan-serangan partai oposisi sebagai isu recehan.

Siapa Berani Lawan Jokowi?
Jokowi resmi sudah mendeklarasikan diri maju di Pilpres 2019. Bagaimana dengan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto? Apa yang membuat Prabowo belum mendeklarasikan diri maju di Pilpres 2019? Tiga kali Mata Najwa bertanya pada Ketua DPP Gerindra Riza Patria mengenai hal ini.
Akhirnya Riza Patria menjawab, “Pasti maju. 1.000 persen pasti maju dan pasti menang.” Pernyataan ini disambar Sekjen Partai Nasdem, Johnny G. Plate, “Kalau sampai Prabowo tak maju jadi capres, berarti Gerindra gagal membangun koalisi.” Lebih lanjut, Plate menyebut, “Kami butuh kontestasi.”
Lalu siapa kira-kira tokoh-tokoh yang mungkin berkontestasi selain Jokowi dan Prabowo, mengingat elektabilitas keduanya masih jadi yang teratas dalam survey-survei sejauh ini.

Mencari Pendamping Jokowi
Sejumlah tokoh disebut-sebut layak mendampingi Jokowi sebagai cawapres di Pemilu 2019. Salah satunya Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Apa tanggapan Moeldoko? Begini katanya, “Saya lebih memilih untuk pintar merasa daripada merasa pintar.” Mata Najwa melanjutkan pertanyaan, “Jadi siap bila dicalonkan? Spanduk-spanduk dengan foto Anda juga sudah bertebaran lho.”
Menyambung pembicaraan bursa cawapres, menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari sejauh ini ada sejumlah nama yang masuk radar survei cawapres Pemilu 2019 seperti Anies Baswedan, Agus Yudhoyono, Gatot Nurmantyo, dan Ridwan Kamil.
Dengan nama-nama yang sudah beredar di masyarakat, muncul pula wacana perlukah ada poros ketiga alias calon presiden lain di luar Jokowi dan Prabowo. Siapa pula capres unggulan PAN yang selama ini disorot karena langkah-langkah politiknya yang kerap tak sejalan dengan partai koalisi pemerintah?

Duet Jokowi-Prabowo, Mungkinkah?
“Bagi kami, ini bermakna Jokowi mau menang cepat. Jokowi tak yakin memenangi Pilpres,” kata Ketua DPP Partai Gerindra Riza Patria. Pernyataan ini menyambung penjelasannya soal ada orang partai yang mendatangi Gerindra, menawarkan Prabowo menjadi calon wakil presiden bagi Jokowi di Pemilu 2019. Mata Najwa menantangnya, “Siapa teman-teman partai yang datang ke Gerindra? Saya langsung konfirmasi pada PDI Perjuangan dan Nasdem di sini ya.” Serta merta ini dijawab oleh Sekjen Partai Nasdem Johnny G. Plate, “ Jangan-jangan itu obrolan warung kopi yang ditanggapi serius.”
Yang pasti:
Politik elektoral bukanlah duel brutal tanpa batasan, kompetisi adalah persaingan di dalam peraturan.
Jika aturan main dilanggar seenaknya, demokrasi niscaya menjelma sekadar kelahi.
Para elite mesti tahu batas dan etika, sebab Pemilu bukan gelanggang adu domba, pemilu juga bukan ajang untuk menjatuhkan orang lain.
Walau ada kekalahan dan kemenangan, kontestasi harus dilakukan dengan elegan.
Rebut hati rakyat dengan cara-cara yang baik, pemimpin seharusnya memang orang-orang bajik.
Bukankah pemimpin pada dasarnya adalah pelayan, bukan malah bertindak selayaknya sang tuan.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Mata Najwa Republik Digital

Review Mata Najwa Melawan Terorisme

Review Mata Najwa Melarang Ormas Terlarang